Jumat, 14 Desember 2018

Ibu Jangan Berpura-Pura

Ibu seharusnya jadi supporter terbesar dalam hidup kita kan? Lalu bagaimana kalau ibu justru menjadi penghambat bagi hidup kita?
Sebenarnya tidak menghambat, tapi ibu 'menjaga'ku berdasarkan apa yang pernah dia lihat dan rasakan waktu muda. Padahal belum tentu kondisi saat itu bisa aku terima dan sesuai dengan kondisiku. Ibu hanya melihat dari sudut pandangnya dan tak pernah melihat dari sudut pandangku. Akhirnya, aku merasa tumbuh dalam ketakutan dan tekanan. Ku akui aku sakit hati, tapi aku bisa apa. Melawan akan dibenci Tuhan, dibiarkan aku semakin tertekan.

Ibuku menikah di usia muda, 19 tahun. Ibu dan bapak menikah di akhir tahun 1989. Beberapa bulan setelah menikah, ibu hamil dan melahirkan aku di tahun 1991. Sebagai pasangan baru menikah, dikaruniai seorang anak tentunya menjadi kebahagiaan lain. Kondisi ekonomi yang mulai dari nol menjadikan kehadiranku sebagai motivasi buat orang tuaku. Akupun menjadi kesayangan buat mereka. Mereka berharap kelak, aku akan menjadi kebanggaan untuk mereka.

Kalau kalian bertanya apakah ibu mengatur kehidupanku? Ibu akan mengelak. Tapi kalau kalian bertanya kepadaku? Akupun mengiyakan~seperti itulah manusia yang selalu menganggap dirinya benar~. Ibu, dia merasa paling mengerti aku, tapi aku tak merasa dimengerti sedikitpun. 

Waktu TK bahkan sampai SD aku pernah terbuli. Ibu tak pernah sedikitpun membelaku saat aku takut dan pulang dalam keadaan menangis. Aku bisa menerima hal itu karena para pengalaman ini membuat aku belajar, menemukan dan mengetahui bahwa pembulian bisa dilawan dengan menjadi anak pemberani.

Ibu, memang membebaskan aku untuk menjadi apapun yang aku inginkan mulai dari pegawai kantor, arsitek, wartawan dan pada akhirnya seorang designer. Tapi jauh dalam lubuk hatinya, ibu sangat ingin aku bisa menjadi seorang guru. Ibu ingin sekali aku tumbuh menjadi anak yang pandai, sehingga, melihatku bisa membaca lancar diusia TK-A membuat ibu senang dan sangat bangga. Ibu memang tidak pernah memarahiku saat aku mendapatkan nilai yang jelek, tapi ibu juga tak terlalu senang kalau aku dapat nilai jelek.

Suatu ketika, aku melihat saudaraku yang ditemani belajar oleh ibunya. Kulihat juga ada segelas susu yang disiapkan untuknya. Membandingkan dengan ibuku, rasanya aku  sedih. Ibu tak pernah menemaniku belajar bahkan selalu menonton televisi saat aku belajar. Ibu selalu mengelak menemaniku belajar dengan alasan ibu hanya lulusan SD yang tidak terlalu pintar. Bagiku, tak masalah ibu pandai atau tidak, aku hanya ingin ibu menemaniku, duduk disampingku sambil menungguiku. Rupanya ibu tak cukup peka dengan keinginanku.

Ibu mulai posesif kepadaku. Aku tak dibolehkan untuk membaca hal lain selain buku pelajaran. Saat ibu melihatku memegang koran, ibu bilang tak seharusnya aku yang masih kecil membaca koran atau majalah. Ketika aku membaca komik atau novel, ibu akan marah dan berkata bahwa apa yang aku baca tidak akan muncul dalam ujian sehingga membaca komik atau novel adalah hal yang sia-sia. Seringkali aku menunggu ibu tidur karena ingin begadang untuk membaca komik atau novel yang aku pinjam. Kalau ketahuan, akupun akan kena marah. Komik dan novel yang tertangkap basah oleh ibu kadang akan diambil tanpa sepengetahuanku lalu disembunyikan, tapi aku selalu bisa menemukan. Terkadang aku mencuri-curi waktu membaca novel dan komik disekolah bahkan akan pulang telat  hanya untuk menyelesaikan novel yang sedang kubaca. Bagaimana bisa ibu melarangku membaca semua itu, padahal aku bisa membaca berawal dari majalah bulanan yang kudapat dari sekolah saat masih taman kanak-kanak. Aku berangkat dari hal yang menyenangkan dan kusenangi, tapi pada akhirnya hal itu dijauhkan karena dianggap hanya membawa dampak negatif. Pernah, saking tertekannya, aku sakit dan berakhir dengan selang infus. Di sisi lain, aku bersyukur diberi sakit. Dokter yang memeriksaku kala itu menasehatiku untuk tidak terlalu serius belajar. Beliau menyarankan agar aku menyeleingi belajar dengan membaca novel dan komik. Beruntung ibu ada disana dan mendengarkan apa yang dokter katakan. Mungkin itulah cara tuhan menegur dan membuka hati ibu. Sejak saat itu, ibu tak pernah melarangku membaca novel dan komik lagi. Bahkan aku sedikit lebih tenang dan mulai berani membeli novel dan majalahku sendiri.

Aku tak punya cukup hiburan. Orang tuaku bisa dibilang tak tak pernah mengajak anaknya jalan-jalan ketempat rekreasi. Pernah, sekali dua kali aku ketempat rekreasi, itupun diajak saudara. Mau main video games, aku tak punya. Ibu tak mengizinkan aku main video games, sehingga melarang bapak untuk membelikanku video games, mainan hits kala itu. Main bersama teman-teman juga tak boleh. Sebenarnya boleh saja, asal di waktu yang tepat. Kalau teman-teman saya main gobak sodor dan kejar-kejaran disiang hari yang terik, saya hanya melihat dari jendela dan lama-kelamaan kabur lalu ikut main. Ancaman ibu yang mengatakan bahwa main dibawah terik matahari bisa bikin kulit gosong tidak ku indahkan. Disini, ada benernya sih, andai aku mendengarkan ibu waktu itu, kulitku akan tetap putih. Dulu, aku punya banyak waktu tidur siang yang tak pernah dimanfaatkan dengan baik. Kini, aku begitu merindukan waktu tidur siang.

Akhir-akhir ini, kalau aku sakit, ibu sudah jarang mau mendengar keluhanku. Ibu jarang mememani aku. Jadi aku lebih sering diam saat aku sakit dan tidak mempermasalahkan kalau aku harus ke dokter sendiri. Terakhir kali aku hanya nitip salep alergi, ibu selalu beralasan lupa hampir sebulan. Padahal aku gak akan benar-benar minta tolong kalau tidak benar-benar butuh dan sanggup. Sakit hati dan nelangsa memang, tapi sekali lagi, aku bisa apa, akhirnya aku hanya diam. Sekali kali cukup hal itu jadi yang terakhir kali aku meminta pada ibu. 

Berkali-kali aku mencoba menyenangkan hati ibu mulai dari memberikan kado di hari ulang tahunnya, segera menuruti apa yang ibu mau, mengajak jalan-jalan dan membeli makanan yang ibu suka, sayang beberapa kali pula aku terluka karena sikap ibu. Hingga akhirnya, aku menyimpulkan, ibuku hanya berpura-pura dewasa. Pernikahanya di usia muda memang membuatnya bangga karena jarak antara anak dan ibu tidak terlampau jauh. Dia merasa bisa menjadi teman bagi anaknya, padahal sebenarnya dia sudah sering melukai hatiku dengan keegoisanya. Memang, fisik ibu siap untuk menikah di usia muda, tapi mental ibu hanya berpura-pura siap untuk menjadi ibu. Perlu diingat para ibu muda, tidak akan ada kepura-puraan yang dapat diterima oleh hati. 

Berkaca pada diriku sendiri, aku bersyukur dengan keadaan yang aku jalani saat ini. Diusiaku yang hampir menginjak 28 tahun, aku memang masih sendiri, tapi aku merasa cukup puas, tuwuk, enough dengan masa mudaku. Meskipun terkadang lelah, meskipun terkadang banyak teman menggunjing dan mencibir, aku menerima saja. Aku harap, disaat aku menikah dan menjadi ibu kelak, aku menjadi ibu yang sutuhnya, yang tidak berpura-pura  dengan kedewasaanya dan benar-benar menjadi ibu bijak bagi anak-anaknya. (Lailataul Chofifah ©)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tuliskan komentar Anda di sini. . .