Minggu, 23 Desember 2018

Kebersamaan yang NYATA

Kata orang, jomblo itu nasib sementara single itu pilihan, so menjadi jomblo terkesan lebih mengenaskan daripada menjadi single. Kalau menurut saya, jomblo atau single, meski beda tulisan,
dua-duanya tetaplah sama, sama-sama sendirian. Meski terkesan mengenaskan, sendirian bukanlah kutukan maupun hal yang menakutkan–menghibur diri sendiri. Orang-orang yang memilih sendiri an sebenarnya mantap memutuskan untuk sendirian karena tidak ingin membuang-buang waktu percuma dengan orang yang salah. Mereka yang menghina si jomblo atau single, sebenarnya hanyalah orang-orang yang tak cukup berani dan belum tentu bisa menghadapi kesendirian, so jangan takut menikmati kesendirian.

Sabtu sendu, dibawah naungan gerimis dan rintik hujan aku masih saja berkutat di jalanan basah sebelum akhirnya ku putuskan untuk menikmati beberapa sajian hangat. Tak perlu waktu lama untuk memikirkan kemana aku harus pergi dan segera kulajukan motorku menuju restoran pizza terkenal di muka bumi Indonesia. Malam semakin larut tapi entah kenapa tempat itu semakin ramai. Kulihat hampir semua meja penuh hingga aku harus menunggu sejenak untuk mendapatkan tempat duduk. Tak perlu menunggu lama bagi waitress untuk mencarikan tempat duduk bagiku yang hanya datang sendirian. Belum genap 5 menit, bahkan punggung ini belum bersandar, waitress sudah memanggil dan mempersilahkanku masuk. Terkesan menantang memang, menghabiskan waktu sendirian ditengah keramaian seperti itu, tapi toh tidak ada peraturan yang melarang jomblo atau single untuk menikmati makanan di restoran kan? Sendiri dan tidak hanya perkara perasaan. Mau seramai apapun tempat yang kita kunjungi, kalau kita merasa kesepian, kita tetap akan merasa sendiri. Bukan begitu?

kuliahat setiap orang datang dengan pasangan, kawan dan keluarga masing-masing. Tak ada seorangpun yang datang sendirian kecuali aku. Disebelah kananku duduk sepasang sejoli yang sedang cekikikan entah membahas masa depan atau hanya saling lempar candaan. Sesekali mereka cekikikan sambil rebutan hengpon, sesekali mereka cubit-cubitan dan sender-senderan manja. Ahh dasar pasangan anak muda, semua memang tampak indah sebelum menikah. Coba kalau sudah nikah beberapa puluh tahun. Apakah masih akan sama? Yaah, saya sebagai penonton hanya bisa mendoakan agar mereka bisa naik ke pelaminan dan mesra selamanya. Sayang banget mesra-mesra-an nya kan kalau sampai putus ditengah jalan.

Beralih pada pasangan di sebelah kiriku yang nampaknya pasangan suami istri baru. Sang suami berpenampilan nyentrik dengan rambut ikalnya yang gondrong tapi dikuncir rapi, gelang dan kalung rantai berwarna perak serta vest belel berwarna biru muda bak penyanyi rock. Nampak kontras dengan sang suami, sang istri yang nampaknya sedang hamil tua, tampil lebih kalem dengan gamis bunga-bunga yang dipadukan dengan hijab lebar dan panjang berwarna navy. Pasangan beda genre, begitu aku menyebutnya. Dari obrolan yang samar-samar terdengar, mereka cukup mesra, kompak dan nyambung walaupun memiliki perbedaan tampilan yang sangat kontras.

Sejauh mata memandang, banyak kumpulan tamu yang merupakan sekelompok pasangan muda bahagia lengkap dengan beberapa anak-anak balita yang unch. Namun, ada dua keluarga yang cukup menyita perhatianku. Tepat di depan mejaku, ada satu keluarga yang terdiri dari seorang bapak, ibu, satu anak putri dan satu anak putra yang dari postur serta raut wajahnya bisa ditebak bahwa dia adalah si anak sulung di keluarga tersebut. Hal yang unik dari keluarga ini adalah, mereka makan bersama tetapi saling diam. Mereka bersama di satu meja, tapi mereka tak saling bicara dan sibuk sendiri. Si bapak sibuk mengaduk-aduk kopi di depannya sambil menerawang kedepan, entah apa yang dilihat, kurasa pandanganya kosong. Si adik sibuk mencicipi minumanya sambil sesekali menjilati sendoknya, sementara si ibu dan si sulung sibuk mengecek gadget masing-masing.  Tidak ada komunikasi di keluarga ini. Bergeser ke meja disebelahnya, ada keluarga lain yang terdiri dari bapak, ibu yang terlihat masih muda bahkan jauh lebih muda dari si bapak, seorang anak peremuan dan tiga anak laki-laki yang mungkin salah satu atau salah duanya hanyalah keponakan. Tak ada satupun anggota keluarga yang tidak larut dalam percakapan. Sepanjang yang dapat kulihat, tak ada satu anggotapun yang sibuk mengecek gadget, sungguh potret keluarga yang harmonis.

Malam itu, kusaksikan beragam interaksi dalam suatu hubungan. Aku belajar bahwa hubungan seharusnya nyata secara fisik maupun perasaan, kita tidak hanya menghadirkan raga tapi juga hati kita. Dengan begitu, kehangatan dan kebersamaan benar-benar dapat dirasakan satu sama lain. Dan sekali lagi, inilah keseruan yang bisa kudapat dengan pergi sendirian. Aku bebas mengobservasi sekitar dan belajar. (choluck ©)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tuliskan komentar Anda di sini. . .