Rabu, 06 Mei 2015

Awan Mendung : Dikucilkan

Di antara saudara sepantaran dan sekumpulan, bisa dibilang saya adalah anak yang paling kecil. Dimana-mana, anak terkecil pasti dianggap sebagai anak bawang yang tidak jelas apa peranannya, tapi jelas selalu nurut dan diam saja kalau disuruh ini dan itu seperti “Bawang” dicocok hidungnya.
Selain selalu dianggap sebagai anak bawang, saya dikenal sebagai anak yang mudah jijik terhadap sesuatu. Dari kecil sampai sekarang, saya tidak bisa menginjak tanah tanpa menggunakan alas kaki. Saya juga tidak mau memegang sesuatu yang lembek atau sesuatu yang menurut saya menjijikkan dengan tangan telanjang. Saya tidak suka tempat lembab yang banyak ditumbuhi lumut. Bagi pembaca sekalian, mungkin hal ini aneh, tapi ini semacam phobia dalam diri saya. Tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang pasti memiliki rasa tidak suka terhadap suatu barang. Di luar sana juga banyak orang yang bernasib sama dengan saya. Ada yang takut bahkan hanya dengan kertas tisu, suara balon meletus, semangka, rambutan, salak, hewan ini dan itu atau benda benda lain yang tidak lazim ditakuti.
Dulu, saya sering sekali dipanggil saudara saya dengan iming-iming diajak main bersama. Pada akhirnya, saya ditinggal juga. Kalau sudah seperti itu, awalnya saya akan terus mengejar mereka dan berusaha mengikuti kemanapun mereka pergi. Saya akan terus berusaha menemukan kemanapun mereka bersembunyi untuk menghindari saya. Dengan tawa yang menggelak, saudara-saudara terlihat puas melihat saya yang kelelahan mengejar mereka dan mulai menangis karena merasa kesepian akibat ditinggal. Sepertinya, tangis dan kesedihan saya adalah kebahagiaan bagi mereka. Kalau sudah lelah, saya akan pulang kemudian bertanya polos pada ibu “Kenapa saya selalu ditinggal oleh mereka?” hati kecil saya meneruskan “Apakah karena saya miskin?”
Saudara saya memang keturunan orang kaya dan selalu hidup dalam gelimang kecukupan. Satu perkataannya mampu menghipnotis anak sepantaran lainnya untuk berbondong-bondong mengikuti mandat dan langkahnya. Sejak kecil, sepertinya dia memang sudah memiliki lidah semanis madu dan setajam samurai. Saat hari minggu atau libur panjang tiba, dia kerap mengajak teman-teman sebaya dalam acara masak bersama. Teman laki-laki dan perempuan semua di undang tak terkecuali saya. Dalam acara masak bareng tersebut, kami yang ikut harus membayar iuran sebesar lima ratus rupiah. Uang yang terkumpul digunakan untuk membeli bahan-bahan memasak. Menu yang paling sering dimasak dalam acara tersebut adalah nasi goreng. Dalam acara masak bareng tersebt, saya yang hanya anak bawang kebagian tugas “menunggu”. Ya, saya yang hanya anak bawang tidak pernah dipercaya untuk membantu. Dia menganngap saya tidak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya, saya ter-asingkan dari tempat memasak, hanya menunggu masakan selesai sambil termenung sendiri menunggu diluar. Sementara anak-anak yang lain berkumpul didapur untuk memasak bersama sambil sesekali bercanda ria.
Dari luar, saya hanya bisa melongokkan kepala dan sesekali menebak-nebak apa yang terjadi di dalam. Ingin sekali saya ikut masuk dan bergabung dengan teman-teman yang lain. Kalaupun saya tidak dipercaya untuk membantu dalam memasak makanan, saya bersedia kalau hanya dipercaya untuk mencuci peralatan masak. Beberapa kali saya mencoba untuk berbicara dan meminta izin untuk ikut masuk, tapi jawaban yang diberikan tetap sama, “tidak boleh”. Alasannya karena saya masih kecil, jadi saya tidak perlu membantu, cukup menunggu masakan jadi. Ternyata, Allah masih sayang dengan saya. Diantara anak-anak itu, masih ada yang perduli dengan saya dan memberitahukan pada saya bahwa di dalam saya sedang digunjing karena terlalu jijik dengan banyak hal. Dia bahkan juga tidak terima kalau saya mendapatkan jatah “nyicip” masakan karena saya tidak ikut andil dalam memasak. Padahal, dia sendiri yang melarang saya untuk ikut membantu.
Mengetahui fakta bahwa dari awal kehadiran saya sebenarnya memang tidak diharapkan, saya pun pulang. Saya tidak perduli lagi dapat jatah makanan atau tidak. Perut saya mendadak terasa penuh setelah mengetahui kenyataan yang pahit. Dalam acara masak bareng yang berikutnya, saya cukup sadar diri dan sudah bisa menebak bahwa saya pasti tidak diperbolehkan masuk dan lagi-lagi saya pasti hanya akan menunggu dan termenung sendirian di luar sambil menunggu masakan dengan dan atau tanpa digunjing ditusuk dari belakang. 
Kini, kami semua telah tumbuh dewasa dan tahu betul bahwa dalam dunia anak kecil, pertengkaran semacam di atas adalah hal yang wajar. dari hal tersebut saya justru belajar bahwa rasa sakit hati, kecewa dan nelangsa yang dipendam anak kecil ternyata lebih awat tersimpan dalam memori ingatannya dan sangat mempengaruhi perkembangannya. Bahkan, akan ada perasaaan dendam yang tersimpan samapi dia tumbuh dewasa. Rasa sakit hati, kecewa dan nelangsa tersebut bisa jadi dua mata pisau yang berbeda. Disatu sisi, dia mungkin jadi cambuk motivasi untuk membalas dendam dengan menciptakan prestasi yang tinggai, di sisi lain, dia bisa menjadi api yang membahayakan. [choluck ©]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tuliskan komentar Anda di sini. . .