Rabu, 06 Mei 2015

Belajar di Sekolah Kehidupan

Salam bukanlah seorang profesor yang sekolah hingga S3, bukan pula lulusan sekolah luar negeri. Jangankan bangku kuliah, bangku SMP dan bangku SMA saja tidak pernah Salam rasakan. Bahkan, Salam tidak lulus SD. Dia bersekolah hanya sampai kelas 3 SD. Lagi-lagi, keterbatasan ekonomi yang membuatnya berhenti sekolah. Seharusnya, kalau memang besar kemauan Salam, keterbatasan ekonomi bukanlah penghalang. Tapi memang, kemauan Salam sudah hilang, terbang, melayang seiring peluhnya yang menetes tiap ditagih untuk melunasi tunggakan uang sekolah.
Selama sekolah, Salam sering menunggak uang SPP. Belum lagi lunas uang SPP sebulan, Salam sudah nunggak lagi uang SPP bulan selanjutnya. Kalau sudah tiba saatnya ujian, sudah bisa ditebak bahwa Salam tidak diperkenankan mengikuti ujian karena masih menunggak uang SPP. Bosan ditagih bagaikan seseorang yang berhutang pada rentenir, Salam pun memutuskan untuk berhenti sekolah. Pasca berhenti dari bangku sekolah, kegiatan apapun yang menghasilkan uang dan halal pasti dilakukan oleh Salam, mulai dari merumput untuk makanan ternak tetangga, membantu tetangga menjaga ternak hingga mencari kayu, guguran bunga kamboja dan turi di kuburan untuk dijual ke pasar. Yang ada dalam pikirannya hanyalah menghasilkan uang untuk membantu meringankan beban ibunya.
Salam adalah anak terakhir dari lima orang bersaudara. Tiga orang kakak laki-lakinya cukup beruntung dapat bersekolah tinggi dan akhirnya menjadi seorang guru. Salam dan kakak perempuannya hanya dapat bersekolah sampai jenjang SD. Kakak perempuan Salam hanya bersekolah sampai SD karena saat itu pendidikan anak perempuan tidak menjadi prioritas utama. Tapi, Salam bersekolah hanya sampai kelas 3 SD karena beliau tidak ingin terus menerus menyusahkan ibunya.
Saat sudah mulai beranjak dewasa, terbersit satu pikiran dalam benaknya. Pikiran itu sepertinya satu ilham yang dikirim Tuhan untukknya karena berawal dari pikiran itulah Salam akhirnya sedikit demi sedikit merubah hidupnya. Kala itu, Salam bercakap-cakap dengan pikirannya sendiri. Ia bertanya apakah dia hanya akan hidup begitu-begitu saja seumur hidupnya? Dia lalu memandangi rumahnya. Sudah jelek, reyot dan memalukan. Antara geli dan muak dia melihatnya. Dia lantas membatin. Dia adalah anak laki-laki, suatu saat, dia akan memboyong seorang istri kerumah tersebut. Lantas dia bertanya lagi pada dirinya sendiri. Apa dia tidak malu kalau kelak harus membawa istrinya pulang ke rumahnya yang jelek ini? Kemudian, ia bertekat untuk bekerja dengan lebih keras agar dapat merubah nasibnya. Dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan. Keinginan Salam untuk merubah nasibnya seperti di dengarkan oleh Allah SWT. Tak lama, Salam pun di ajak hijrah ke Sidoarjo oleh kakak keduanya.
Adalah Sayid kakak kedua dari Salam. Sayid memiliki lima orang anak dari tiga pernikahan yang berbeda. Dari pernikahan yang pertama, beliau dikaruniai tiga orang putera. Setelah istrinya meninggal, Beliau menikah untuk yang kedua kali dan kembali dikaruniai seorang putera. Sayang, putra keempat Beliau mengidap gangguan kejiwaan. Karena ketidak-cocokan, istri keduanya memutuskan untuk bercerai dan memilih laki-laki lain. Beliau kemudian menikah untuk yang ketiga kali. Dari pernikahan terakhir ini, Beliau dikaruniai seorang puteri.
Bagi Salam, Sayid adalah orang yang sangat berjasa untuknya. Walaupun Sayid dan Salam terlahir dari ayah yang berbeda, hal tersebut tidak membuat keduanya bermusuhan satu sama lain. Malah, Sayid dengan senang hati mengajak Salam hijrah dari Jombang ke Sidoarjo agar Salam menjadi pribadi yang maju. Selain sebagai kakak, Sayid adalah guru berdagang bagi Salam. Sayid beberapa kali mengajak Salam berkeliling Surabaya dan Sidoarjo, tepatnya ke pusat-pusat perdagangan. Sayid berharap, kelak saat Salam sudah bisa mandiri dalam berdagang, Salam sudah cukup lincah untuk mencari sendiri agen barang murah dan berkualitas dari pusat-pusat perdagangan yang telah ditunjukkan oleh Sayid. Selain berkeliling pusat perdagangan besar di Surabaya dan Sidoarjo, Sayid juga meminta Salam untuk bekerja padanya sebelum akhirnya Salam berdagang dengan mandiri.
Perjalanan Salam untuk belajar berdagang dari kakaknya tidaklah mudah. Salam harus benar-benar mengeluarkan tenaga ekstra. Saat Salam membantu dalam bisnis membuat jamu tradisional, Salam yang membantu untuk mengupas bahan-bahan jamu, mencuci, hingga merebusnya. Pun saat jamu-jamu tersebut dibawa ke pasar, Salam-lah yang membawa keranjang berat berisi botol-botol jamu tersebut. Selain itu, Salam juga membantu Sayid dalam berjualan bahan-bahan bangunan. Disini, Salam belajar tentang menejemen berdagang yang sesungguhnya. Disini, dia harus “kucing-kucingan” dengan beberapa karyawan Sayid yang nakal. Walaupun selama bekerja Salam tidak pernah dibayar, tak pernah sekalipun Salam memiliki niat untuk ikut-ikutan tren “ngutil” yang diamalkan karyawan lain. Malah, Salam dengan gigih membasmi tindakan korup tersebut. Barang yang akan dikirim, jumlahnya selalu dicek oleh Salam. Jumlah barang yang dinaikkan dalam pick-up harus pas dan sesuai dengan jumlah yang tertulis dalam bon pemesanan. Tidak kurang dan tidak lebih. Akhirnya, di sini Salam belajar bahwa kejujuran adalah harga mati yang harus dimiliki oleh setiap pebisnis. Jangankan bos, sejak berstatus karyawan pun seseorang harus jujur. Walaupun kejujuran tersebut tidak akan mendapatkan penghargaan, upah dan bayaran yang setimpal dari manusia, Allah lah yang pada akhirnya akan membayar kejujuran tersebut dengan nasib baik yang tak disangka-sangka. 
Salam bekerja pada Sayid dengan tanpa dibayar sepeserpun selama hampir sepuluh tahun. Hanya jaminan makanan tiga kali sehari yang menjadi upah untuk Salam. Walaupun demikian, Salam tidak lelah dan putus-asa. Salam nampaknya tahu betul bahwa dia telah mendapatkan bayaran yang lebih berharga daripada uang, yaitu pengalaman berdagang. Satu lifeskill yang tidak diajarkan di sekolah formal manapun. Pelajaran yang hanya bisa didapat melalui praktik nyata. (choluck ©)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tuliskan komentar Anda di sini. . .