Jumat, 18 September 2015

AWAN MENDUNG: LANGGANAN DI BULLY

Sekolah adalah satu dari banyak tempat untuk menimba ilmu, tapi tidak semua peserta didik (baca: murid) bisa melihat sekolah sesuai dengan fungsinya. Hal tersebut terjadi karena beberapa anak mendapatkan ancaman di sekolah. Sementara itu, banyak orang tua dan guru yang lupa bahwa ancaman terbesar mungkin berasal dari teman sebaya yang sering kita kenal dengan bullying.





Bullying merupakan hal yang sudah tidak asing bagi saya. Saya pernah menjadi korban bullying selama enam tahun. Sayapun pernah menganggap sekolah sebagai tempat yang paling tidak ingin saya kunjungi dan tempat yang semakin hari terasa semakin mirip dengan neraka.
Tindakan bullying yang pernah saya dapatkan tak hanya secara verbal, tetapi juga secara fisik dan semuanya cukup mempengaruhi kondisi psikis saya. Saat saya duduk di bangku TK, saya berteman dengan dua anak bernama Vina dan Riris. Entah kenapa kedua anak tersebut berlaku seolah-olah mereka adalah bos saya. Apapun yang mereka perintahkan kepada saya harus saya turuti. Saat saya enggan menuruti mereka, mereka akan merajuk dan menyebarkan fakta-fakta bohong tentang saya dan membuat seisi kelas menjauhi saya. Pernah beberapa kali saya keluar dari lingkaran pertemanan semu dengan dua orang pembully ini kemudian mencoba bergaul dengan teman lain yang lebih baik. Tapi dua orang pembully ini selalu menghampiri saya lalu merajuk agar saya mau kembali berteman dengan mereka. Saya yang tak pernah ingin mengecewakan orang lain pun hanya mampu pasrah dan mengiyakan. Lagi-lagi saya harus menjadi kacung mereka.
Di lain cerita, saya pernah duduk bersebelahan dengan anak bernama Mita. Ditengah-tengah pelajaran, Mita selalu mentowel-towel saya dan mengajak saya untuk bermain ini dan itu. Saya mencoba untuk menolaknya karena saya ingin mendengarkan penjelasan guru, tapi dia memarahi saya. Saat sudah terlalu jengkel, dia kerap mencubit lengan saya. Sayapun menangis. Di lain kesempatan, saya mencoba untuk mencueki mita. Samar-samar saya mendengar kalau dia berulang kali mengajak saya untuk bermain saat pelajaran tengah berlangsung. Dia memanggil-manggil saya dengan setengah berbisik sambil menarik-narik lengan baju saya. Saya yang terus-terusan cuek membuatnya naik darah. Kalau sudah begitu, cubitan kuku pun mendarat di lengan saya. Akhirnya, sayapun menangis.
Saking seringnya menangis, bu guru kemudian bertanya kenapa saya menangis. Saya pun menjawab bahwa saya telah dicubit. Dengan pandainya Mita berbohong kalau dia tidak melakukan apapun. Saya menyesal telah menaruh harapan besar pada guru agar dapat menolong dan melindungi saya. Pasalnya, guru tersebut malah berkomentar kalau saya ini ‘tukang nangis’. Sampai kini, saya masih ingat persis bagaimana kata-kata beliau kepada saya waktu itu.
Saat sudah memasuki jenjang SD, saya pernah duduk di depan dua anak laki-laki nakal bernama Heri dan Ulum. Dua orang ini sangat jahil. Beberapa kali kerudung saya di tarik-tarik, kepala saya di toyor, di pukul-pukul dengan pensil bahkan penggaris. Tak jarang mereka mendorong-dorong bangku mereka hingga saya terjepit di antara meja dan bangku saya. Kaki saya juga ditendang-tendang dari belakang. rasanya saya muak berada di sekolah. Saya pun muak mengadu kepada orang yang katanya lebih dewasa dari saya. Nyatanya mereka tidak bisa memberikan perlindungan apapun kepada saya.
Berulang kali saya meminta pertolongan kepada ibu saya. Saya menceritakan ketakutan dan alasan saya engganan masuk sekolah. Saya juga merajuk agar ibu saya mau melaporkan anak-anak jahat ini ke sekolah. Hasilnya nihil. Ibu saya hanya mengatakan kalau hal tersebut wajar dalam pertemanan. Ibu saya hanya menyarankan saya untuk sabar dan lapor kepada guru. Sayang, guru disekolah tidak cukup pandai melihat ketakutan yang dialami anak didiknya.
Akibat dari tindakan bully tersebut, saya tidak bisa berprestasi di sekolah. Saya merasa tertekan. saya tidak sempat memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan nilai yang bagus. Saya hanya memikirkan bagaimana caranya untuk keluar dari jerat pem-bully-an ini. Akhirnya, saya sampai dititik jenuh. Segala amarah yang terpendam selama 6 tahun telah menjadi bom waktu yang akhirnya meledak. Saya menjadi orang yang pendendam dan kasar. Saya tak segan-segan untuk menampar dan memaki teman-teman yang berulah kepada saya. Setelah saya berani untuk berontak, nilai – nilai saya yang jeblok beranjak naik. Saya yang awalnya betah berada di peringkat 10 bawah akhirnya mampu melompat ke peringkat dua bahkan peringkat pertama. Meskipun begitu, sikap kasar saya tidak berlangsung lama karena saya tahu bahwa menjadi korban bully tidak cukup menyenangkan. Alhamdulillah saya tidak menemukan tindakan pem-bully-an di jenjang SMP dan SMA. performance saya di SMP dan SMA pun bertahan di level atas.
Saya bersyukur pernah mengalami tindakan bully, walaupun saya juga merasa kecewa dengan orang-orang dewasa di sekeliling saya yang cuek bebek dengan keluhan saya. Mungkin mereka menganggap keluhan saya hanyalah keluhan ‘konyol’ anak kecil yang tidak lebih penting dari urusan mereka. Kini, saya menjadi pribadi yang lebih mandiri dan tegar. Itulah kehidupan. Kadang, kita memang harus merasakan pahit agar tahu rasanya manis. Kita butuh hujan agar dapat melihat pelangi. Tanah liat harus berkali-kali dibakar agar menjadi kuat. Besi harus dibakar dengan suhu yang tinggi kemudian ditempa agar menjadi sesuatu. Begitu pula dengan saya. Allah menjadikan saya pribadi yang mandiri, tegar dan kuat dengan menjadikan saya pelanggan tindakan bully[choluck ©]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tuliskan komentar Anda di sini. . .