Sekolah adalah satu dari banyak tempat untuk menimba ilmu, tapi tidak semua
peserta didik (baca: murid) bisa melihat sekolah sesuai dengan fungsinya. Hal
tersebut terjadi karena beberapa anak mendapatkan ancaman di sekolah. Sementara
itu,
banyak orang tua dan guru yang lupa bahwa ancaman
terbesar mungkin berasal dari teman sebaya yang sering kita kenal dengan
bullying.
Bullying merupakan hal yang sudah tidak asing bagi saya. Saya
pernah menjadi korban bullying selama
enam tahun. Sayapun pernah menganggap sekolah sebagai tempat yang paling tidak
ingin saya kunjungi dan tempat yang semakin hari terasa semakin mirip dengan
neraka.
Tindakan bullying yang pernah saya
dapatkan tak hanya secara verbal, tetapi juga secara fisik dan semuanya cukup
mempengaruhi kondisi psikis saya. Saat saya duduk di bangku TK, saya berteman
dengan dua anak bernama Vina dan Riris. Entah kenapa kedua anak tersebut
berlaku seolah-olah mereka adalah bos saya. Apapun yang mereka perintahkan
kepada saya harus saya turuti. Saat saya enggan menuruti mereka, mereka akan
merajuk dan menyebarkan fakta-fakta bohong tentang saya dan membuat seisi kelas
menjauhi saya. Pernah beberapa kali saya keluar dari lingkaran pertemanan semu
dengan dua orang pembully ini kemudian mencoba
bergaul dengan teman lain yang lebih baik. Tapi dua orang pembully ini selalu
menghampiri saya lalu merajuk agar saya mau kembali berteman dengan mereka.
Saya yang
tak pernah ingin mengecewakan orang lain pun hanya mampu
pasrah dan mengiyakan. Lagi-lagi saya harus menjadi kacung mereka.
Di lain cerita, saya pernah duduk bersebelahan dengan anak bernama Mita. Ditengah-tengah
pelajaran, Mita selalu mentowel-towel saya dan mengajak saya untuk bermain ini
dan itu. Saya mencoba untuk menolaknya karena saya ingin mendengarkan
penjelasan guru, tapi dia memarahi saya. Saat sudah terlalu jengkel, dia kerap
mencubit lengan saya. Sayapun menangis. Di lain kesempatan, saya mencoba untuk mencueki mita. Samar-samar
saya mendengar kalau dia berulang kali mengajak saya untuk bermain saat
pelajaran tengah berlangsung. Dia memanggil-manggil saya dengan setengah
berbisik sambil
menarik-narik lengan baju saya. Saya yang terus-terusan
cuek membuatnya naik darah. Kalau sudah begitu, cubitan kuku pun mendarat di
lengan saya. Akhirnya, sayapun menangis.
Saking seringnya menangis, bu guru
kemudian bertanya kenapa saya menangis. Saya pun menjawab bahwa saya telah
dicubit. Dengan pandainya Mita berbohong kalau dia tidak melakukan apapun. Saya menyesal telah menaruh harapan besar pada guru agar dapat menolong dan
melindungi saya.
Pasalnya, guru tersebut malah berkomentar kalau saya
ini ‘tukang nangis’. Sampai kini, saya masih ingat persis bagaimana kata-kata beliau kepada saya waktu itu.
Saat sudah memasuki jenjang SD, saya pernah duduk di depan dua anak laki-laki nakal bernama Heri dan Ulum. Dua orang ini sangat jahil. Beberapa kali
kerudung saya di tarik-tarik, kepala saya di toyor, di pukul-pukul dengan pensil bahkan penggaris.
Tak jarang mereka mendorong-dorong bangku mereka hingga saya terjepit di antara
meja dan bangku saya. Kaki saya juga ditendang-tendang
dari belakang. rasanya saya muak berada di sekolah. Saya pun muak mengadu
kepada orang yang katanya lebih dewasa dari saya. Nyatanya mereka tidak bisa
memberikan perlindungan apapun kepada saya.
Berulang kali saya meminta pertolongan kepada ibu saya. Saya menceritakan
ketakutan dan alasan saya engganan masuk sekolah. Saya juga merajuk agar ibu
saya mau melaporkan anak-anak jahat ini ke sekolah. Hasilnya nihil. Ibu saya
hanya mengatakan kalau hal tersebut wajar dalam pertemanan. Ibu saya hanya
menyarankan saya untuk sabar dan lapor kepada guru. Sayang, guru disekolah
tidak cukup pandai melihat ketakutan yang dialami anak didiknya.
Akibat dari tindakan
bully tersebut, saya tidak bisa berprestasi di sekolah. Saya merasa tertekan.
saya tidak sempat memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan nilai yang
bagus. Saya hanya memikirkan bagaimana caranya untuk keluar dari jerat pem-bully-an ini. Akhirnya, saya sampai dititik jenuh. Segala amarah yang terpendam selama 6 tahun
telah menjadi bom waktu yang akhirnya meledak. Saya menjadi orang yang
pendendam dan kasar. Saya tak segan-segan untuk menampar dan memaki teman-teman
yang berulah kepada saya. Setelah saya berani untuk berontak, nilai – nilai
saya yang jeblok beranjak naik. Saya yang awalnya betah berada di peringkat 10
bawah akhirnya mampu melompat ke peringkat dua bahkan peringkat pertama. Meskipun
begitu, sikap kasar saya tidak berlangsung lama karena saya tahu bahwa menjadi
korban bully tidak cukup
menyenangkan. Alhamdulillah saya tidak menemukan tindakan pem-bully-an di jenjang SMP dan SMA. performance saya di SMP dan SMA pun bertahan di level atas.
Saya
bersyukur pernah mengalami tindakan bully, walaupun saya juga
merasa kecewa dengan orang-orang dewasa di sekeliling saya yang cuek bebek
dengan keluhan saya. Mungkin mereka menganggap keluhan saya hanyalah keluhan
‘konyol’ anak kecil yang tidak lebih penting dari urusan mereka.
Kini, saya menjadi pribadi yang lebih mandiri dan tegar. Itulah kehidupan.
Kadang, kita memang harus merasakan pahit agar tahu rasanya manis. Kita butuh
hujan agar dapat melihat pelangi. Tanah liat harus berkali-kali dibakar agar
menjadi kuat. Besi harus dibakar dengan suhu yang tinggi kemudian ditempa agar
menjadi sesuatu. Begitu pula dengan saya. Allah menjadikan saya pribadi yang
mandiri, tegar dan kuat dengan menjadikan saya pelanggan tindakan bully. [choluck ©]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tuliskan komentar Anda di sini. . .