Mendengar judulnya saja, sudah pasti banyak dari Anda yang
sepertinya mengernyitkan dahi sambil berspekulasi aneh–aneh. Sebenernya, apa
sih yang saya lakukan? Apa sih yang ingin saya ceritakan? Kenapa saya sampai
melakukan dosa? Sebenarnya dosa apa yang telah di lakukan tapi masih terasa
indah? Apa jangan–jangan semua dosa itu memang diseting terasa indah di awal
agar pelakunya terjebak dalam kubanganya? Ah, entahlah. Karena Anda sepertinya
penasaran, berikut langsung saya tuliskan ceritanya.
Suatu ketika, saya yang masih duduk di bangku kelas 1 SMA,
mengikuti kelas bahasa Indonesia di jam jam terakhir sekolah. Guru saya waktu
itu bernama Bu Sri. Beliau adalah seorang guru wanita paruh baya berhijab,
berpawakan tinggi agak kurus, berkulit sawo matang, berasal dari Bali dan tentunya
memiliki suara khas ibu–ibu. Meski begitu, beliau adalah guru yang kompeten dan
sudah pasti sangat menguasai dunia sastra yang bahasanya agak dilebih–lebihkan.
Hari itu, bu guru mengajarkan kompetensi mendengarkan. Beliau
ingin saya dan teman–teman sekelas mendengarkan berita yang beliau sampaikan
kemudian mencatat poin–poin yang penting dan menceritakan ulang berita tersebut
lewat rangkaian kata–kata indah di buku tulis. Ya,,, bisa dibilang siang itu saya
dan teman–teman sekelas lagi belajar jadi pewarta berita amatiran yang nantinya
harus menyusun berita berkonten 5W+1H. Alamak, gaya sekali. Sudah levelnya
masih belajar, belajar nya cuma jadi wartawan amatiran.
Menurutku, waktu itu bu guru bacain beritanya cepet banget,
padahal kalau diingat – ingat, waktu itu beliau bacanya biasa–biasa saja,
normal dan nggak kedengeran seperti
penyiar radio yang kalau ngomong macam kereta shinkansen. Tapi, ya begitulah
adanya, di mana–mana, murit itu selalu minta diulang–ulang kalau sedang didekte
atau disuruh mendengarkan. Hemm saya jadi heran!
Siang yang terik itu sepertinya membuat konsentrasiku dan teman–teman
yang lain menjadi terbagi. Sebagian otak diisi pikiran kapan pulang, sebagian
lainnya diisi rasa haus dan lapar, sisanya yang benar–benar tinggal sedikit itu
dipaksa untuk berkonsentrasi pada berita yang sedang dibaca bu guru. Konsentrai
yang terbagi–bagi itupun membuat saya tidak bisa mendengar, menangkap dan
memahami apapun yang keluar dari mulut bu guru. Informasi yang dibacakan oleh
bu guru serasa Cuma numpang lewat di telinga saya. Ada yang masuk telinga kanan
keluar telinga kiri, ada juga yang masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Jangan khawatir, tidak ada yang keluar dari hidung dan mulut saya kog.
Di sela–sela keruwetan dalam otak saya, tiba–tiba mucul satu ide
kreatif dalam otak saya. Entah itu memang benar–benar kreatif, entah itu ide
yang curang, entah itu dari Tuhan, entah itu dari setan yang menyesatkan.
Entahlah, yang jelas ide tersebut sangat brilian sekali. Semakin kencang ide
tersebut berhembus dalam otak saya, semakin rapat saya menutup mulut agar tidak
sampai keceplosan. Saya takut ide saya keluar dari mulut saya dan menembus otak
teman–teman yang lain.
Ada keuntungan dengan duduk di depan. Waktu itu, berkat rahmat
dari Allah SWT yang memberikan saya kesempatan duduk di depan, saya jadi bisa
sedikit ngintip nama media massa dan tanggal terbit dari koran yang dipegang bu
guru. Media massa tersebut cukup terkenal di Jawa Timur bahkan bisa dibilang
salah satu media massa besar di Indonesia. Setelah mengantongi info tentang
nama dan tanggal terbit koran terebut, saya hanya tinggal banyak berdoa agar
tugas tersebut dijadikan PR dan boleh dikumpulkan besok. Tik tok tik tok, menit
demi menit berlalu dan doa saya dikabulkan.
Sesampainya saya dirumah, saya cepat–cepat mengambil sepeda dan
mengayuhnya menuju rumah saudara saya. Saya tahu bahkan sudah hafal di luar
kepala kalau saudara saya berlangganan koran tersebut. Di rumah saudara saya,
saya melihat beberapa tumpukan koran. Langsung saja saya mencari koran dengan
tanggal yang sesuai. Akhirnya, ketemu juga yang saya cari, koran dengan gambar
pasawat besar dan rancangan sebuah bandara. Headline koran tersebut membahas
tentang pembangunan landasan baru bandara Juanda Sidoarjo (lebih terkenal terletak di Surabaya,
padahal lokasinya jelas–jelas di Waru, Sidoarjo). Memang berita tentang bandara
tersebut yang tadi dibacakan oleh bu guru. Aduuuh, Bahagia sekali kalau
membayangkan besok saya pasti dapat nilai plus. Senyumpun merekah di bibir
saya. Rasanya muka saya sudah tidak cukup lagi untuk memajang senyum saya yang
semakin melebar. Rasanya semua keberuntungan memang sedang berpihak pada saya.
Saya juga sangat bersyukur karena saya dapat tugas seperti itu saat saudara
saya masih langganan koran tersebut. Kalau tidak, ya saya harus beli (L”)
(wakwawww).
Di rumah, saya langsung mencatat poin – poin penting dari setiap
paragraf. Dua lembar halaman buku tulis pun penuh. Keesokan harinya, saya
berbisik pada teman saya “bagaimana PR Bahasa Indonesiamu?”. Tanpa berkata apa–apa,
dia memperlihatkan buku tulisnya. Tidak begitu banyak kalimat yang berhasil Ia
rangkai di buku tulisnya. Saya pun membawa bukunya dan beberapa alat tulis,
kemudian menariknya ke perpustakaan. Di perpustakaan, saya keluarkan koran yang
berhasil saya dapatkan kemarin kemudian saya pinjamkan kepada teman saya. Dia
terbelalak, mulutnya menganga, bingung harus kaget atau bahagia. Tanpa ba bi
bu, dia segera menambah tulisannya. Alamak,,, saya ini, dosa kog ngajak – ngajak temen. Sembari teman
saya mencatat, saya mengawasi ruangan kalau–kalau guru Bahasa Indonesia saya
datang. Tapi syukurlah, hingga teman saya menyelesaikan tulisannya, semuanya
aman terkendali. Setelah itu, saya dan teman saya kembali ke kelas.
Singkat cerita, tugaspun dikumpulkan, dinilai kemudian buku
kembali dibagikan. Setelah dibagi, bu guru mengumumkan kekecewaanya karena dari
sekian banyak siswa di kelas, hanya ada dua orang yang bisa mencatat info
hampir mirip dengan berita aslinya, yaitu saya dan teman sebangku saya. Bu guru
kemudian memperlihatkan PR saya pada seisi kelas. Antara iri dan berdecak
kagum, mereka tak percaya kalau saya sampai menghabiskan dua lembar halaman
penuh. Seseorang dari teman saya menimpali “ kalau itu ya bukan menulis
informasi penting bu, tapi nulis korannya”. Walaupun agak sedikit takut
ketahuan, tapi dalam hati saya mengiyakan apa yang dikatakan teman saya. Yang
lain memberi komentar lebih logis “Terang saja banyak, duduknya di depan”.
Kemudian, bu guru menjawab “Semua itu kembali pada kalian sendiri. Kalau kalian
niat dan fokus, kalian juga bisa menulis sebanyak ini”. Dalam hati saya
bergumam “Iya bu, memang saya niat dan fokus banget untuk menyenangkan ibu
dengan memberikan usaha sebesar 101%. Tapi, maafkan anakmu ini yah bu!”.
Kemudian, saya saling lirik dengan teman sebangku saya kemudian
tos. Saya terenyum menertawakan dua hal. Yang pertama, saya senang akhirnya
mendapatkan nilai plus. Yang kedua, saya menertawakan diri saya yang konyol.
Suatu saat, kalau guru saya membaca tulisan saya ini, semoga beliau telah
memaafkan saya. Tapi, saya yakin ilmu yang beliau bagikan untuk saya akan
menjadi ilmu yang bermanfaat. (choluck©)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan Lupa tuliskan komentar Anda di sini. . .