Kamis, 05 Februari 2015

Titik Balik Uzi

       15 menit menjelang berakhirnya jam pelajaran, saya memberikan free time pada murit – murit saya. saya mengizinkan mereka untuk memainkan laptop masing – masing dengan syarat laptop dalam keadaan silent mode. Namun, saya mengizinkan murit saya untuk mengeraskan suara laptop apabila mereka menggunakan headset. Sontak, semua murit bersorak kegirangan. Setelah hampir sejam belajar Bahasa Inggris, akhirnya mereka mendapatkan waktu untuk me-relaksasi otak dan badan mereka. Tak lama kemudian,
kelas yang berisi 20 anak tersebut mendadak jadi sunyi senyap karena semua murit sudah sibuk pada monitor laptop masing - masing. Bangku yang menghadap ke tembok memudahkan saya untuk mengecek aplikasi yang sedang di jalankan murit saya. Tiga kali mengitari isi kelas, kebanyakan dari murit saya hanya bermain game. Tapi, pandangan saya mendadak terpaku pada seorang murit yang terlihat agak bosan pada laptopnya. 


       Murit saya ini berinisial MNF. Uzi (nama disamarkan), begitu ia biasa dipanggil. Menurut saya, Uzi adalah murit yang paling menurut, murit yang tidak pernah bermasalah dan termasuk murit yang pintar. Dia sangat aktif mengikuti pelajaran di kelas. Tanpa bermaksud untuk menjadi subyektif pada murit saya, saya menganggap Uzi seperti adik saya sendiri. Uzi mengingatkan saya pada adik kandung saya, Afif. Uzi dua tahun lebih tua dari Afif. Uzi sekarang kelas tujuh sedangkan Afif masih kelas enam. Uzi dan Afif memiliki tinggi yang sama. Keduanya juga sama – sama berpawakan tambun serta memiliki pipi yang tembem. Sayangnya, Uzi memiliki kulit yang cerah sedangkan Afif memiliki kulit yang agak gelap.

       Hari itu, Uzi sedang membuka laman akun jejaring sosialnya. Dia terlihat bosan dan hanya menggeser laman akun nya ke bawah dan sesekali kembali ke atas tidak jelas apa yang ingin di lihat. Saya pun duduk di bangku kosong yang ada di sebelah bangku miliknya dan mulai membuka pembicaraan. “Teman – teman yang lain sibuk main game, Uzi kenapa nggak main juga? Biasanya anak seumuran kamu kan suka main game. Saya saja masih suka main game. Tapi kamu kog kelihatanya bosan? Ada apa?” begitulah saya mengawali pembicaraan saya. Dari situlah kejadian yang menyentuh hati saya terjadi. Setelah saya bertanya, Uzi menjelaskan kepada saya bahwa saya mungkin tidak akan menyangka kalau dulu, Uzi adalah anak yang sangat nakal dan selalu menjadi troublemaker di sekolah dan di rumah. Ingatan Uzi seperti ditarik ke masa – masa sekolah dasar. Lalu, dengan lancar dia menceritakan apa yang ada dalam ingatannya. Dia mengatakan kepada saya kalau sewaktu dia masih kelas 5 SD, dia sempat keranjingan main game online. Hari – hari yang ada dihabiskan di warnet. Sepulang sekolah, Uzi pasti akan langsung pulang ke warnet. Tugas – tugas sekolah sudah tidak menjadi prioritas utamanya. Yang ada dalam pikirannya hanya game online, game online dan game online. Pertengkaran dengan kedua orang tuanya pun tak terelakkan lagi. Tiada hari tanpa di marahi. Seolah sudah menjadi makanan sehari – hari, Uzi pun menjadi kebal dengan kemarahan kedua orang tuanya. Bahkan, Uzi pernah tiga hari tiga malam tidak pulang ke rumah tetapi menginap di warnet. Uzi juga pernah bolos sekolah selama seminggu. Tidak tahan dengan kenakalan Uzi, orang tuanya pun mencoba cara yang agak halus dengan cara membelikan Uzi satu set laptop khusus untuk main game online. Uzi akhirnya memang betah tinggal di rumah, tetapi hal itu hanya berlangsung untuk beberapa waktu saja. Uzi bilang, dia merasa kesepian main di rumah sehingga dia pun kembali menghabiskan waktunya main game di warnet. Uzi tidak lagi bergaul dengan anak – anak seumurannya. Di warnet, dia berteman dengan banyak orang yang lebih tua darinya seperti anak SMP, SMA bahkan mahasiswa. Uzi mengaku kalau untuk main game online, dia sampai menghabiskan uang sekitar sejuta samapi tiga jutaan. Nah lo? Darimana anak SD mendapatkan uang sebanyak itu. Dia bilang, Ia mendapatkan uang setelah memenangkan game online. Kemenangan dan hadiah menggiurkan itulah yang membuatnya keranjingan untuk terus main game online dan memenangkan hadiahnya. Uzi juga menceritakan bahwa ia juga sempat pergi ke Bandung dengan teman – teman warnet untuk mengikuti lomba game online di sana. Sampai kelas 6 SD dia masih kecanduan game online. Bahkan, pada saat UNAS, dia masih sempat main game online tanpa khawatir besok bisa mengerjakan soal UNAS atau tidak. Anehnya, dia masih tetap bisa lulus UNAS. Mungkin berkat doa dari kedua orang tuanya. 


       Di lain kesempatan, entah mengapa Uzi tiba – tiba memiliki keinginan untuk melanjutkan SMP di sekolah pondok yang ada di kota tempat ia tinggal. Ayahnya pun menyetujuinya. Ayahnya bilang, sekolah tersebut tidak jauh dari rumah mereka tinggal, jadi ayahnya bisa dengan mudah menjenguk Uzi. Sebelum sempat melihat Uzi bersekolah di tempat tersebut, ternyata Ayah Uzi sudah harus kembali pulang kepadaNya. Uzipun merasa sangat kecewa. Ia tidak kecewa dengan ayah yang meninggalkannya, tetapi Ia kecewa dengan dirinya sendiri. Uzi bercerita pada saya bahwa tiga hari sebelum ayahnya wafat, Ia sempat marah dan bertengkar dengan kedua orang tuanya. Penyebabnya adalah hal yang sepele.Uzi tidak mau makan karena mamanya hanya memberinya lauk tempe padahal Ia ingin makan dengan lauk yang lebih enak. Uzi menyesal sekali karena saat ayahnya meninggal, ia belum bisa membuat ayahnya bangga dan belum bisa menunjukkan satu prestasipun pada ayahnya, malah ia hanya bisa membuat ayahnya marah bahkan tiga hari sebelum ayahnya wafat.

Sekarang, Uzi sudah SMP dan ia mengatakan kalau pada semester 1 kemarin, dia mendapatkan peringkat pertama di kelas. Dia sempat heran karena selama SD dia bahkan tidak pernah masuk dalam peringkat sepuluh besar. Mamanya pun terharu sampai – sampai menangis. Akhirnya, selama liburan, mamanya selalu memasakkan makanan yang enak untuk Uzi sebagai apresiasi atas prestasinya menjadi juara kelas. Kini, sepertinya Uzi sudah bisa legowo(1) karena, walaupun Uzi tidak mendapatkan hadiah jalan – jalan pada saat liburan, Uzi tidak marah – marah lagi.


       Yah, begitulah kalau Allah sudah memberikan hidayah pada seseorang. Orang tersebut bisa berubah 180 derajat bahkan 360 derajat. Keinginan Uzi yang secara tiba – tiba ingin sekolah di pondok serta kematian sang ayah mungkin merupakan jalan hidayah yang Allah berikan pada Uzi. Dari sini, kita juga bisa memetik hikmah bahwa di setiap kejadian pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Hanya saja, kita jeli atau tidak, mau atau tidak untuk mengambil pelajaran yang berharga dari setiap kejadian itu. Kematian sang ayah, menjadi titk balik Uzi untuk kembali menjadi anak yang baik. Maha suci Allah yang memiliki kuasa untuk membolak – balikkan hati seseorang semudah membalikkan telapak tangan. Untuk itu, kita harus senantiasa berdoa agar Allah senantiasa memberikan hidayah-Nya pada kita semua. Menurut saya, hidayah itu bukan hal yang harus ditunggu, tetapi juga dicari. Saya memang bukan orang yang suci dan sempurna karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah semata, tapi tidak ada salahnya kalau kita berusaha saling mengingatkan untuk kebaikan. Kawan, semoga cerita saya di atas bisa menginspirasi kawan – kawan yang mengalami kejadian serupa. Saya berdoa agar kita semua senantiasa menjadi orang yang lebih baik dan istiqomah(2) berjalan di jalanNya. (choluck©)


(1) Legowo = ikhlas

(2) Istiqomah = Kontinyu, terus - menerus, reguler.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa tuliskan komentar Anda di sini. . .